Senin, 26 September 2011

Tanda-tanda Haji Mabrur




Oleh:
Ustadz Anas Burhanuddin M.A خفظه الله

Pertama: Harta yang Dipakai Untuk Haji Adalah Harta yang Halal


Harta yang dipakai untuk haji adalah harta yang halal, karena Allah عزّوجلّ tidak menerima kecuali yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi صلي الله عليه وسلم:


إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا


Sungguh Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik1


Orang yang ingin hajinya mabrur harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrur bagi mereka hanyalah jauh panggang dari api.

Ibnu Rajab رحمه الله berkata dalam sebuah syair:2

Jika anda berhaji dengan harta tak halal asalnya

Maka anda tidak berhaji, yang berhaji hanya rombongan anda

Allah عزّوجلّ tidak menerima kecuali yang halal saja

Tidak semua yang berhaji mabrur hajinya

Kedua: Amalan Haji Dilakukan Dengan Baik 

Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi صلي الله عليه وسلم. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrur juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qadhi رحمه الله: "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama"ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah عزّوجلّ."1
Pada zaman dahulu ada orang yang menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat menyendiri, memberikan air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun menyadari bahwa dirinya telah bersalah.2
Ketiga: Hajinya Dipenuhi Dengan Banyak Amalan Baik

Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab رحمه الله berkata: "Maka haji mabrur adalah yang terkumpul di dalamnya amalan- amalan baik, plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.1
Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrur adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi صلي الله عليه وسلم pernah ditanya tentang maksud haji mabrur, maka beliau menjawab:
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Memberi makan dan berkata-kata baik.2
Keempat: Tidak Berbuat Maksiat Selama Ihram

Maksiat dilarang dalam agama kita dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrur yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusuq dan jidal. Allah عزّوجلّ, berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusuq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji. [QS. al-Baqarah 197]
Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang haji dan ia tidak rafats dan tidak fusuq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan ibunya.1
Rafats adalah semua bentuk kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama, bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihram.
Fusuq adalah keluar dari ketaatan kepada Allah عزّوجلّ, apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk maksiat adalah fusuq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidal adalah berbantah-bantahan secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama ihram. Adapun di luar waktu ihram, berhubungan suami-istri kembali diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrur juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik berupa syirik, bid'ah maupun maksiat.
Kelima: Pulang Dari Haji Dengan Keadaan Lebih Baik

Salah satu tanda diterimanya amal seseorang di sisi Allah عزّوجلّ adalah diberikan taufik untuk melakukan kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah عزّوجلّ tidak menerima amalannya.1
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama'ah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah عزّوجلّ. Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrur.
Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah عزّوجلّ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri رحمه الله mengatakan: "Haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat."2 Ia juga mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji."3
Ibnu Hajar al-Haitami رحمه الله mengatakan: "Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan kesadaran."
PENUTUP

Sekali lagi, yang menilai mabrur tidaknya haji seseorang hanya Allah عزّوجلّ. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah عزّوجلّ berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah عزّوجلّ. Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah عزّوجلّ, dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfar dan memperbaiki amalan anda. Wallahu a'lam.
  1. Al-Qur'an al-Karim.
  2. Shahih al-Bukhari, Tahqiq Musthafa al-Bugha, Dar Ibn Katsir.
  3. Shahih Muslim, Tahqiq Muhammad Fuad 'Abdul Baqi, Dar Ihya' Turats.
  4. Musnad Imam Ahmad, Tahqiq Syu'aib al-Arnauth, Muassasah Qurthubah.
  5. Sunan al-Baihdqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
  6. Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, Muhammad Nashiruddin al-Albani, Maktabah al-Ma'arif.
  7. At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, Tahqiq Sayyid Hasyim an-Nadawi, Darul Fikr.
  8. Lathaiful Ma'arif fima li Mawasil 'Am minal Wazhaif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syamilah.
 
HAJI MABRUR1

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rosululloh صلي الله عليه وسلم bersabda: "Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga," (HR. Bukhori: 1683, Muslim: 1349)
"Haji mabur" memiliki beberapa kriteria:
Pertama: Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Alloh, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil "pak haji" atau "bu haji" oleh masyarakatnya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Alloh dengan penuh keikhlasan...(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Kedua: Ittiba' kepada Nabi صلي الله عليه وسلم. Dia berhaji sesuai tatacara haji yang diperaktekkan oleh Nabi صلي الله عليه وسلم dan menjauhi perkara-perkara bid'ah dalam haji. Beliau صلي الله عليه وسلم sendiri bersabda:
خُذُوا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
"Contohlah cara manasik hajiku." (HR. Muslim: 1297)
Ketiga: Harta untuk berangkat hajinya adalah harta yang halal. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
"Sesungguhnya Alloh itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik." (HR. Muslim: 1015)
Keempat: Menjauhi segala kemaksiatan, kebid'ahan, dan penyimpangan.
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rofats (berkata-kata tak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji.... (QS. al-Baqoroh [2]: 197)
Kelima: Berakhlak baik antar sesama, tawadhu' dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (22/39): "Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum'ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal." (Lathoiful Ma'arif Ibnu Rojab hal. 410-419, Masa'il Yaktsuru Sual 'Anha Abdulloh bin Sholih al-Fauzan: 12-13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar