Jumat, 19 Agustus 2011

sifat wudhuk Nabi SAW

SIFAT WUDHU’ NABI Shallallahu ‘alaihi wa Salam

Secara syri’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah swt. Allah memerintahkan:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki." (QS. Al-Maaidah:6).

"Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu." (HR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).

"Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat." (HR. Abu Dawud, no. 60).

Utsman bin Affan ra berkata:

“Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah saw, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).


Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).


Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah saw dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah saw melakukan wudhu’:

1. Memulai wudhu’ dengan niat.


Niat artinya menyengaha dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah swt dan mengikuti perintah Rasul-Nya saw.

Ibnu Taimiyah berkata:

"Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati." (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)


"Rasulullah saw menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya…" (HR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).


2. Tasmiyah (membaca bismillah)
Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:

"Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah)" (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).


Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah saw bersabda:

“Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)


Dengan ucapan Rasulullah saw:
”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.

3. Mencuci kedua telapak tangan

"Bahwa Rasulullah saw mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah saw juga membolehkan mengambil air dari bejana dengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya." (HR. Bukhari-Muslim)


4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung


"Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air." (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)


Imam Nawawi berkata:

"Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah." (Syarah Muslim, 3/122).


"Demikian pula Rasulullah saw menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah." (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i)


5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.


Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:

”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (QS. Al-Maidah: 6)


Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan,

"bahwa cara Nabi saw membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali." (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)


"Setalah Nabi saw membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah swt." (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).


6. Membasuh kedua tangan sampai siku


Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah swt berfirman:

”Dan basahlah tangan-tanganmu sampai siku” (QS. Al-Maaidah: 6)


"Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya." (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)


"Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat." (HR. Muslim I/149)


7. Mengusap kepada, telinga dan sorban


Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah swt memerintahkan:

”Dan usaplah kepala-kepala kalian…”(QS. Al-Maidah: 6).



Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala,

"yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya." (HR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)


Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda:

”Dua telinga itu termasuk kepala.” (HR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)


Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi saw) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:

"Bahwasanya Nabi saw mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya." (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)


Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra :
"Aku melihat Nabi saw mengusap kepalanya satu kali." (lihat_Shahih Abu Dawud, no. 106).

Kata Rubayyi bin Muawwidz:

“Aku pernah melihat Rasulullah saw berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)


Rasulullah saw juga mencontohka,

"bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya,"(HR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya)


asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.

Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:

1. Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.
2. Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.

Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap di atasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).

8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki


Allah swt berfirman:

”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)


"Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki." (HR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)


Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata.

“Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”


Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.

Rasulullah saw bersabda:

“…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)


9. Tertib
Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]

Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

10. Berdoa


Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi saw:

“Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin" (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)


Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi saw.
Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.

Maraji’:

1. Sifat Wudhu’ Nabi saw, Syaikh Fadh asy Syuwaib.
2. At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari


Sumber : http://reizazulkarnaen.blogspot.com/2011/01/sifat-wudhu-nabi.html


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)

Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan.
Wassalam...

Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...

sifat shalat Nabi SAW

Sifat Shalat Nabi

sumber; http://islamiyah-islami-mumin.blogspot.com/

Rasulullah saw bersabda

"Sesungguhnya seorang hamba mengerjakan shalat, dan tidak ditulis baginya pahala dari shalat tersebut kecuali sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhmya,atau seperenamnya, atau seperlimanya, atau seperempatnya, atau sepertiganya, atau setengahnya."

Apabila disebutkan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sunnah di sini bukan sunnah dalam istilah fiqih yang artinya berpahala jika dikerjakan dan tidak apa-apa (tidak berdosa) jika ditinggalkan, tetapi sunnah di sini berarti segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pernyataan di dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syariat. Lihat Kitab “Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaidu wal Ahkami” kitab karangan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany yang disusun oleh Muhammad ‘Id al Abbasi. Jadi sunnah di sini merupakan sinonim dari kata hadits.
ketika dalam sholat berjama'ah, bahu dan kaki bertemu dengan bahu dan kaki ma'mum di sebelah kita:
Dari Nu’man bin Basyir, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shollallahu’alayhi wa Sallam bersabda : “Hendaklah kamu benar-benar meluruskan shafmu, atau (kalau tidak;maka) Allah akan jadikan perselisihan di antaramu.” (Muttafaq ‘alayhi, Bukhari No. 717 dan Muslim No.436)

Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 552 dan Ahmad (IV:276) dan dishahihkan oleh al Albani dalam ash Shahihah no.32 secara lengkap, setelah membawakan hadits di atas, maka Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu berkata :

“Maka saya (Nu’man bin Basyir) melihat seorang laki-laki (dari para Shahabat) menempelkan bahunya ke bahu yang ada disampingnya, dan lututnya dengan lutut yang ada disampingnya serta mata kakinya dengan mata kaki yang ada disampingnya).”
Pernyataan Nu’man bin Basyir ini juga telah disebutkan oleh Imam Bukhari didalam kitab Shahihnya (II:447-Fat-hul Bari).

Diriwayatkan pula Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah Shollallahu ’alayhi wa Sallam telah bersabda:

“Luruskanlah shaf-shafmu! Sejajarkan antara bahumu (dengan bahu saudaranya yang berada disamping kanan dan kiri), isilah bagian yang masih renggang, berlaku lembutlah terhadap tangan saudaramu (yang hendak mengisi kekosongan atau kelonggaran shaf), dan janganlah kamu biarkan kekosongan yang ada di shaf untuk diisi oleh setan. Dan barangsiapa yang menyambung shaf, pastilah Allah akan menyambungnya, sebaliknya barangsiapa yang memutuskan shaf; pastilah Allah akan memutuskannya.

(Shahih. Abu Dawud no:666, dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al Hakim, Nawawi dan al Albani. Lihat : Fat-hul Bari (II:447) dan Shahihut Targhib Wat Tarbib no:492)
[Image: 0.jpg]
Takbiratul Ihram

[Image: 02.jpg]

Bahwasanya Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berdiri untuk shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya setinggi kedua pundaknya, kemudian beliau bertakbir” [HR. Muslim no. 390]

Dari Malik bin Al-Huwairits : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya” [HR. Muslim no. 391]

[Image: takbir.jpg]


Bersedekap

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjBzBTLD8avCMjkcOlxmmSOG4Nm6k-DXBSeePDvEJNO6OmaH6_WY8DjbzQFwK0iLXQ3Vs4GIv7o0iTu4RqsUFi5WVRELej1ZuALa_AnIvNWSACyDj7OW8qZjfECnrqTMIR8UteSmtMMmb0/s1600/03.jpg


“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di dadanya ('ala ash-shodri)” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479]
Dari Sahl bin Sa’id radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 707]


[Image: sedekap.jpg?w=172&h=114]
[Image: sedekap-2.jpg]
Bacaan setelah takbiratul ihram
Disunnahkan membaca ta'awwudz sebelum membaca Al-Fatihah

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiizSu8tHGIB3Z0kD9Q-NnvQ7lA2ZLcLAnxiZSkmHlMHGPJFtpYILQdlx-VYqM6zrH1EB7JAVZt2llqBCiljo0O1bkr8p3QparMWYwBHMx0TuFQQ7xnouRAQKHsGutR_hwgpkpJzDCML0/s1600/04.jpg


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhzPii3eLnuUcKrMVj5DaSFM_dD94VX-C-0u6hEhip8dbBNR30SaCNO8dnYf_ABwNnH83rFObiOamBix9I35XIGmGgAMpCW6wJ-Lasbn9gLgyW-wVowRYhvtCKZgAPHG3aLD-llJxiJLQY/s1600/05.jpg


Ruku'
[Image: 06.jpg]



Sering terjadi kesalahan dalam ruku',antara lain:
1. Telapak tangan berada di bawah lutut, sehingga badan terlalu menunduk
2. Telapak tangan di paha, sehingga badan terlalu tegak
3. Punggung tidak rata (datar)
“Apabila beliau ruku', maka beliau meluruskan punggungnya. Bahkan seandainya disiramkan air di atas punggung tersebut, maka pasti tidak akan tumpah ke bawah” [Lihat Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4732]
4.Pandangan ke arah tempat sujud (kepala mendongak), padahal Rasulullah ruku' dengan pandangan tegak lurus ke bawah
“Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menundukkan kepalanya dan tidak pula mengangkat/ menegakkannya”
[HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa; shahih]


[Image: ruku.jpg]

I'tidal
[Image: 07.jpg]


Ada perselisihan di kalangan para 'ulama dalam menentukan apakah tangan atau kedua lutut yang terlebih dahulu ketika hendak turun sujud. Perselisihan ini terjadi dalam menafsirkan hadits ini:
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Apabila salah seorang diantara kalian hendak sujud, maka janganlah ia menyungkur seperti menyungkurnya seekor unta. Hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” [HR. Abu Dawud no. 840, Nasa’i no. 1091, dan yang lainnya; shahih]
(Tetapi saya pribadi mengambil pendapat yang pertama, yaitu tangan terlebih dahulu.Wallahu a'lam..)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo-gyRCMeB9CoXmx_AkfjPLzErYGxM2VYPQfxnwnQRAN6jv1DqX4tYrF0VXoJElFRILoj2U7-4pPZmycoP5DWQdd3uIgDt4T0JmWrpmaeY0UFxzTen7nFQ49zRptxRxRHXeuj66onyvqY/s1600/09.jpg

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata : Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : “Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu dahi (beliau berisyarat ke hidungnya), kedua (telapak) tangan, kedua kaki (maksudnya kedua lutut), dan kedua ujung kaki”
[HR. Al-Bukhari no. 776 dan Muslim no. 490]

Kesalahan yang sering terjadi antara lain:
1. Ketika sujud sebagian/salah satu anggota sujud tidak menyentuh tanah/sajadah. (terutama yang paling sering hidung)
2. Tidak merapatkan jari-jari.
Dari Wail radliyallaahu ‘anhu : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila sujud, maka beliau merapatkan jari-jarinya” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 642; hasan].
3. Menempelkan siku dan hastanya ke tanah/sajadah,padahal Rasulullah telah melarangnya
“Seimbangkan badan ketika sujud, janganlah ia merebahkan kedua lengannya di lantai seperti rebahnya anjing,” [HR Bukhari 822 dan Muslim 493]
4. Tidak merapatkan tumit
Telah berkata ‘Aisyah: “Aku kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sebelumnya bersamaku di tempat tidur. Maka aku menemukan beliau sedang bersujud menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya menghadap kiblat” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 654; shahih]


[Image: sujud-2.jpg]
Duduk iftirasy
Bangkit menuju rakaat selanjutnya

Setelah sujud yang kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk istirahat (posisi duduk istirahat ini seperti duduk iftirasy). Kemudian setelah itu bangkit untuk menuju rakaat selanjutnya.
Dari Malik bin Al-Huwairits :“Bahwasanya beliau melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, apabila beliau selesai dari rakaat ganjil (satu dan tiga) maka beliau tidak bangkit sampai duduk dengan tenang” [HR. Al-Bukhari]

Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz:
“Duduk istirahat adalah mustahab (dianjurkan) bagi imam, ma’mum, maupun yang shalat sendiri. Dan duduknya sejenis dengan duduk diantara dua sujud, duduknya ringan (sebentar) tidak disyari’atkan dzikir dan doa di dalamnya. Barangsiapa meninggalkannya maka tidak mengapa. Hadist-hadistnya telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadist Malik bin Al-Huwairits, dan dari Abu Humaid As-Sa’idy, dan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum” [Majmu’ Fatawa Syeikh Abdul Aziz bin Baz 11/99]
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEil77hxf8_q7kFIVy9JFRibtagiZR5Bv2ahyuaLL8RAGbddkQzNMOqXDZGKiala57P6rQRbUE-4sgBX7IaheFwdLMECMH0Q8EGvzSOF8_Tf_Pvvt0kTuxHZWDez-tygqGF9qSGjDhP1cCc/s1600/12.jpg







[Image: 13.jpg]

Abdullah bin ‘Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk.’” [HR. Ahmad, dan dihasankan Syeikh Al-Albany]

Berkata Al-Mubarakfury: “Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk” [Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr]
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj67mC0yAO4yvwug8JjatckA6Fb7EQZjza4Osknp_uPureIDkhQhF_tYyFFjP6ne_safCzFwszHsMH4hir4fce8e1bv4hy9EsyemS6znSBbXno4I_O23iyairJ2KofJi6y12uWN9eBGyAU/s1600/14.jpg


[Image: 15.jpg]

[Image: telunjuk.jpg]
[Image: telunjuk-2.jpg]

Catt: Tidak ada hadits shohih yang menunjukkan adanya tambahan kata “sayyidina” di dalam shalawat (baik ketika sholat maupun diluar sholat)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0jP-Udyfqs6-oV6qNPpoentTjYXI9cdEhRrK5YflpGJ9KqBPK7ixyOlm3l1plAxiKv9P-SUJBIroiFyS8WDQmu1MlrCKi74I-D1GoGyd5z0qhMyYWeDZj-koFSY9rzEKJV1Yfc4_ovKA/s1600/16.jpg


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbfB_jLbSMtiwwoWmgx8YKvfoROQDlTEFabkCDRkuO6Dmna0_gEiuPRVG9C7GArLFRXM535gBSE8oS5wAmTopqRpFKAwF4H_qmKbmI1-Y24MygNl44KEFgzSiNzZjEwrm_VAJXRjCrjlE/s1600/17.jpg

Tasyahud Awal


Tasyahud akhir dan salam

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_WtRzSG4j9nnPmdA9zydv6266Anu6EnLrLoy8-tWwldoItagACZV5fmNZa82sMuMPlOAHEThy7bU7sO_cvVx9yAZ2FwGyVNPOWE-SM2jCEkCwjqVufWREFS3dfEV2CyCmEQUMSs8bCQ4/s1600/18.jpg


Dari ’Amir bin Sa’d dari ayahnya radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melakukan salam (di akhir shalat) dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, sehingga aku melihat putih pipi beliau”
[HR. Muslim no. 582].

Sering terlihat orang yang m
engucapkan salam ketika menoleh ke kanan dibarengi dengan gerakan telapak tangan dibuka kemudian ketika menoleh ke kiri tangan kirinya di buka. Gerakan tangan ini dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Mengapa kamu menggerakkan tangan kamu seperti gerakan ekor kuda yang lari terbirit-birit dikejar binatang buas? Bila seseorang diantara kamu mengucapkan salam, hendaklah ia berpaling kepada temannya dan tidak perlu menggerakkan tangannya.” -Ketika mereka sholat lagi bersama Rasullullah, mereka tidak melakukannya lagi- (Pada riwayat lain disebutkan: “Seseorang diantara kamu cukup meletakkan tangannya di atas pahanya, kemudian ia mengucapkan salam dengan berpaling kepada saudaranya yang di sebelah kanan dan saudaranya di sebelah kiri). [Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Muslim, Abu ‘Awanah, Ibnu Khuzaimah dan At-Thabrani]

Kamis, 18 Agustus 2011

Puasa Tp...Buka Aurat

Puasa Tetapi Tidak Berjilbab 


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita telah mengetahui bersama mengenakan jilbab adalah suatu hal yang wajib. Sebagaimana kewajibannya telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup kita. Namun kenyataaan di tengah-tengah kita, masih banyak yang belum sadar akan jilbab termasuk pada bulan Ramadhan. Tulisan ini akan menjelaskan bagaimanakah status puasa wanita yang tidak berjilbab. Semoga bermanfaat.
Kewajiban Mengenakan Jilbab
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14).
Orang yang tidak menutupi auratnya artinya tidak mengenakan jilbab diancam dalam hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128). Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah: (1) Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang; (2) Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  17: 190-191).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa wajibnya wanita mengenakan jilbab dan ancaman bagi yang membuka-buka auratnya. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa berpakaian tetapi telanjang alias tidak mengenakan jilbab termasuk dosa besar. Karena dalam hadits mendapat ancaman yang berat yaitu tidak akan mencium bau surga. Na’udzu billahi min dzalik.
Puasa Harus Meninggalkan Maksiat
Setelah kita tahu bahwa tidak mengenakan jilbab adalah suatu dosa atau suatu maksiat, bahkan mendapat ancaman  yang berat, maka keadaan tidak berjilbab tidak disangsikan lagi akan membahayakan keadaan orang yang berpuasa. Kita tahu bersama bahwa maksiat akan mengurangi pahala orang yang berpuasa, walaupun  status puasanya sah. Yang bisa jadi didapat adalah rasa lapar dan haus saja, pahala tidak diperoleh atau berkurang karena maksiat. Bahkan Allah sendiri tidak peduli akan lapar dan haus yang ia tahan. Kita dapat melihat dari dalil-dalil berikut:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903).
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan sia-sia dan kata-kata kotor. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”. (HR. Ibnu Khuzaimah 3: 242. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits tersebut shahih)
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277).
Mala ‘Ali Al Qori rahimahullah berkata, “Ketika berpuasa begitu keras larangan untuk bermaksiat. Orang yang berpuasa namun melakukan maksiat sama halnya dengan orang yang berhaji lalu bermaksiat, yaitu pahala pokoknya tidak batal, hanya kesempurnaan pahala yang tidak ia peroleh. Orang yang berpuasa namun bermaksiat akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang ia lakukan.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, 6: 308).
Al Baydhowi rahimahullah mengatakan, “Ibadah puasa bukanlah hanya menahan diri dari lapar dan dahaga saja. Bahkan seseorang yang menjalankan puasa hendaklah mengekang berbagai syahwat dan mengajak jiwa pada kebaikan. Jika tidak demikian, sungguh Allah tidak akan melihat amalannya, dalam artian tidak akan menerimanya.” (Fathul Bari, 4: 117).
Penjelasan di atas menunjukkan sia-sianya puasa orang yang bermaksiat, termasuk dalam hal ini adalah wanita yang tidak berjilbab ketika puasa. Oleh karenanya, bulan puasa semestinya bisa dijadikan moment untuk memperbaiki diri. Bulan Ramadhan ini seharusnya dimanfaatkan untuk menjadikan diri menjadi lebih baik. Pelan-pelan di bulan ini bisa dilatih untuk berjilbab. Ingatlah sebagaimana kata ulama salaf, “Tanda diterimanya suatu amalan adalah kebaikan membuahkan kebaikan.”
Belum Mau Berjilbab
Beralasan belum siap berjilbab karena yang penting hatinya dulu diperbaiki?
Kami jawab, “Hati juga mesti baik. Lahiriyah pun demikian. Karena iman itu mencakup amalan hati, perkataan dan perbuatan. Hanya pemahaman keliru dari aliran Murji’ah yang menganggap iman itu cukup dengan amalan hati ditambah perkataan lisan tanpa mesti ditambah amalan lahiriyah. Iman butuh realisasi dalam tindakan dan amalan”
Beralasan belum siap berjilbab karena mengenakannya begitu gerah dan panas?
Kami jawab, “Lebih mending mana, panas di dunia karena melakukan ketaatan ataukah panas di neraka karena durhaka?” Coba direnungkan!
Beralasan belum siap berjilbab karena banyak orang yang berjilbab malah suka menggunjing?
Kami jawab, “Ingat tidak bisa kita pukul rata bahwa setiap orang yang berjilbab seperti itu. Itu paling hanya segelintir orang yang demikian, namun tidak semua. Sehingga tidak bisa kita sebut setiap wanita yang berjilbab suka menggunjing.”
Beralasan lagi karena saat ini belum siap berjilbab?
Kami jawab, “Jika tidak sekarang, lalu kapan lagi? Apa tahun depan? Apa dua tahun lagi? Apa nanit jika sudah pipi keriput dan rambut ubanan? Inilah was-was dari setan supaya kita menunda amalan baik. Jika tidak sekarang ini, mengapa mesti menunda berhijab besok dan besok lagi? Dan kita tidak tahu besok kita masih di dunia ini ataukah sudah di alam barzakh, bahkan kita tidak tahu keadaan kita sejam atau semenit mendatang. So … jangan menunda-nunda beramal baik. Jangan menunda-nunda untuk berjilbab.”
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berikut seharusnya menjadi renungan,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Jika engkau berada di waktu sore, maka janganlah menunggu pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, janganlah menunggu waktu sore. Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datang sakitmu dan manfaatkanlah hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari no. 6416). Hadits ini menunjukkan dorongan untuk menjadikan kematian seperti berada di hadapan kita sehingga bayangan tersebut menjadikan kita bersiap-siap dengan amalan sholeh. Juga sikap ini menjadikan kita sedikit dalam berpanjang angan-angan. Demikian kata Ibnu Baththol ketika menjelaskan hadits di atas.
Moga di bulan penuh barokah ini, kita diberi taufik oleh Allah untuk semakin taat pada-Nya. Wallahu waliyyut taufiq.
Panggang-Gunung Kidul, 4 Ramadhan 1432 H (04/08/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal